coffee kopi indonesia
Kamis, 05 Juni 2014
cara menyimpan kopi
Menyimpan kopi
Beli dalam bentuk biji. Para ahli dan penikmat kopi setuju, satu-satunya cara untuk mempersiapkan secangkir kopi yang layak adalah membeli biji kopinya dan menggilingnya sebelum dibuat sebagai minuman. Oksigen menyebabkan kopi kehilangan rasa, dan kopi memiliki permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan oksigen.
Beli dalam jumlah yang cukup. Seperti kebanyakan hal yang kita konsumsi, demikian juga dengan kopi, kopi segar adalah yang terbaik. Direkomendasikan untuk membeli kopi yang hanya digunakan dalam seminggu atau dua minggu, atau maksimal satu bulan. Jika tidak menyeduh kopi secara teratur, jangan membeli satu kilogram dan berharap masih enak dua bulan kemudian.
Jaga agar tetap kering, dingin, dan kedap udara. Kopi memiliki empat musuh: udara, kelembaban, panas, dan cahaya. Untuk melindungi biji kopi, bukalah dari kemasannya dan simpan dalam wadah yang kedap udara dan buram, jauhkan dari panas dan kelembaban.
Bekukan jangka panjang sampai satu bulan. Jika membeli kopi yang akan digunakan dalam beberapa minggu, pisahkan kelebihannya ke dalam kantong freezer kecil dan kedap udara. Simpan dalam lemari pendingin tidak lebih dari sebulan.
Selasa, 27 Mei 2014
kopi vulkanik merapi
YOGYA - Anda coffee lovers dan ingin menikmati seduhan kopi beraroma vulkanik sambil melihat pemandangan Gunung Merapi ? Ini dia salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Namanya gendon warung Kopi , warung kopi tradisional yang menyajikan kopi hasil petani kopi lereng Gunung Merapi.
Pemiliknya adalah mas Yuniarto (27) yang juga seorang pengusaha asal Kampung Sembuhan, Desa Sendang mulyo, Minggir, Sleman Yogyakarta. Di desa inilah warung ini ada, jaraknya sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi.
Malam ini Senin (10/2/2014) Kami menjajal kopi merapi seduhan Mas Yuniarto di warung sederhana yang letaknya sekitar 500 meter dari Jembatan Ngapak kali progo. Secangkir kopi arabica yang habis disangrai langsung disajikan panas.
Di Hawa dingin pinggir sungai progo melengkapi ngopi malam hari di warung ini. Ditemani keripik jamur tiram dan lele bakar, tak terasa obrolan sejarah Kopi Merapi dengan Mas Yuniato menghabiskan secangkir kopi arabica yang dibanderol Rp
7 ribu.
"Kalau malam minggu kadang pelanggan harus antri. Jadi buka sampai hampir pagi. Kalau hari biasa, buka dari jam 5 sore tutup jam 12 malam," ujar mas Yuniarto.
Di warung ini anda bisa menikmati kopi merapi robusta, arabica dan blended (robusta & arabica), ada juga kopi dari pegunungan menoreh kulon progo, dan beberapa kopi dari seluruh nusantara. Untuk kopi blended secangkir dijual Rp 8 ribu, sedangkan secangkir kopi robusta dibanderol Rp 5 ribu saja. untuk espreso di bandrol 10 ribu
Penasaran menikmati Kopi Merapi dan melihat langsung bagaimana proses pengolahan langsung kopi ini, ajaklah teman, pacar, saudara dan keluarga agar suasana bertambah hangat.
Geliat kopi Arabica Menoreh di pasar lokal yogyakarta
Malam terus merambat di langit Yogyakarta, tetapi kehidupan masih berdenyut di sejumlah warung kopi yang bertebaran di kota itu.
Ini bukanlah hal aneh di Jogja. Minum kopi sambil mengobrol di kedai, percayalah, sudah menjadi tradisi di wilayah ini.
Tetapi, jika Anda teliti, ada alternatif jenis kopi berbeda yang dijual di sebagian besar warung kopi yang bertebaran di kota itu, belakangan ini.
"Aku dulu sangat intens dengan kopi Robusta," kata Ardian, warga wonosobo yang kuliah di jogja, seraya menyebut kedai kopi Gendon warung kopi. "Tapi, setelah mendapat informasi baru tentang kopi Arabica, saya pelan-pelan beralih ke kopi ini."
Harga secangkir kopi jenis Arabica yang relatif mahal, sempat membuat Ardi ciut hati.
Dan cita rasanya? "Awalnya masih sangat aneh di lidah," kata Ardi yang juga seorang Fotografer ini.
Namun beberapa kali mencoba, pria ini kemudian jatuh cinta pada kopi jenis Arabica. "Dan, dalam empat bulan terakhir, budaya ngopiku berubah," akunya, seraya tertawa.
"Aku dulu sangat intens dengan kopi Robusta... Tapi, setelah mendapat informasi baru tentang kopi Arabica, saya pelan-pelan beralih ke kopi ini. "
Reza Abdulah, warga Aceh.
Reza tidak sendiri. Selama empat hari tinggal di jogja pada April 2014 lalu, saya bertemu lebih dari selusin penikmat kopi yang memiliki pengalaman sama.
Intinya, mereka berkata, kini tidak semata minum kopi Robusta tetapi pelan-pelan beralih ke kopi jenis Arabica terutama Arabica menoreh.
Sengaja dikampanyekan
Kopi jenis Arabica menoreh (java coffee), yang diminum Reza dan warga jogja lainnya, berasal dari dataran tinggi menoreh di wilayah kab. Kulon progo.
Para ahli kopi mengatakan, kopi yang ditanam para petani di dataran tinggi Menoreh ini, disebut memiliki cita rasa khas dan sudah diakui dunia.
Itulah sebabnya, sejak awal, kopi ini telah diekspor ke berbagai negara, utamanya ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Sejak sekitar tiga belas tahun silam, Starbuck Coffee, perusahaan kopi terbesar di dunia, delapan puluh persen mendatangkan kopi jenis Arabika dari Indonesia untuk kebutuhan dunia.
Kopi Arabica Menoreh selama ini dikonsumi masyarakat di luar Jogja dan Indonesia.
"Starbuck beli kopi dari Indonesia dan dia bawa ke Seattle, AS, dan dicampur dengan kopi dari seluruh dunia, lalu dikirim dan dijual kembali ke Indonesia," kata Caecilia , seorang penikmat kopi dan pengusaha kopi asal Sleman Yogyakarta.
Akibatnya, harga kopi Arabica asal indonesia menjadi selangit. Masyarakat Jogja kebanyakan, yang memiliki tradisi minum kopi di kedai-kedai, menjadi terasing dengan jenis kopi Arabica yang ditanam di tanahnya sendiri.
Belakangan, ada kesadaran yang berkembang di masyarakat Jogja untuk mengenalkan kopi jenis ini ke masyarakat lokal Jogja dan sekitarnya.
"Pada tahun 2013, kita mulai menggerakan, mensosialisasikan ke warga Jogja dan sekitarnya, bahwa rasa kopi Arabica lebih nyaman dari Robusta," kata Caecilia.
"
Yuniarto wicaksana, pemilik gendon warung kopi dan penggemar kopi.
Saat ini, menurutnya, penikmat kopi di kedai-kedai di wilayah Jogja dan sekitarnya, mulai berubah. "Sekitar 20% dan 30% sudah beralih ke Arabica," tandasnya.
Menguntungkan?
Pertanyaannya kemudian, kenapa ketika ekspor kopi Arabica asal indonesia dianggap menguntungkan, para pengusahanya saat ini ramai-ramai membuka pasar lokal?
Pertengahan April 2014 lalu, saya mendatangi kedai kopi milik Yuniarto W yang diberi nama Gendon warung kopi.
Terletak di jln Godean Km 18, kafe ini dibangun secara menarik, dengan menampilkan suasana unik nyentrik dengan sentuhan perpaduan antara gaya moderen dan klasic.
Starbuck Coffee mendatangkan kopi jenis Arabica dari Indonesia untuk kebutuhan dunia.
Beberapa orang yang saya temui menyebut, kedai kopi milik mas Yuniarto ini merupakan salah-satu kedai pertama yang menjual kopi Arabica menoreh.
"Saya investasi sangat besar (membangun kafe) untuk membuat orang kita mengubah imej kopi Arabica Menoreh," kata mas Yuniarto.
Menurutnya, upayanya mengenalkan Kopi Arabica Menoreh adalah untuk membantu petani kopi di pegunungan menoreh. "Bagaimana caranya kita mendongkrak harga kopi yang ada di petani," ujarnya.
Dia juga bercita-cita agar masyarakat jogja dapat menikmati kopi Arabica berkualitas asal Pegunungan Menoreh, yang selama ini cuma bisa dikonsumsi di restoran mahal seperti Starbucks.
"Tapi kalau kita nggak pernah mengkonsumsi, dan yang kita jual setengah jadi, kita nggak bisa berbuat apa-apa," katanya lagi.
Namun bagaimana dia meyakinkan masyarakat Jogja, yang terbiasa mengkonsumsi kopi Robusta dengan harga lebih terjangkau?
"Tred setter-nya bule," ungkapnya seraya menambahkan, dia juga mengundang tokoh masyarakat dan warga Banda Aceh lainnya untuk "mencoba" kopi Arabiya Menoreh.
Untung sedikit
Puluhan kilometer dari Kota jogja, petani Kopi Arabica di dataran tinggi Menoreh, sedikit-banyak ikut merasakan imbas ekonomi dari upaya sistematis memasyarakatkan kopi Arabica, meskipun hasilnya belum seperti yang dibayangkan.
Bachtiar, petani kopi di Samigaluh, Kulon Progo, mengatakan, perubahan konsumsi dari kopi Robusta ke kopi Arabica yang belakangan terlihat di wilayah Jogja dan sekitarnya, belum berdampak luar biasa kepada keuntungan mereka.
"Petani kopi ini sangat tergantung pada harga yang ditetapkan oleh para pengepul (pembeli lokal). Pengepul menetapkan harga berdasarkan kurs Dollar AS dan nilai jual di luar negeri," kata pria yang berusia 46 tahun ini.
Jadi, "meningkatnya konsumsi kopi Arabica di masyarakat, tidak terlalu besar pengaruhnya kepada petani. Namun yang lebih besar pengaruhnya kepada pedagang kopi atau pengusaha yang membuka kafe kopi."
"Kalau tingkat petani cuma 5% naik grafik keuntungannya," tambahnya.
Meskipun demikian, akunya, kini petani kopi di Jogja dan sekitarnya mulai bersemangat untuk merawat lebih intensif pohon kopinya.
Konsumsi luar negeri
Sampai tiga tahun lalu, nilai ekspor kopi Arabica Indonesia naik sekitar US$50 juta jika dibandingkan setahun sebelumnya.
Sejumlah pengusaha kopi Arabica di Indonesia mengaku, nilai ekspor kopi Indonesia masih lebih besar dibanding keuntungan yang diperoleh untuk konsumsi lokal.
banyak pengusaha kopi Indonesia sejauh ini lebih banyak mengekspor kopi Arabica ketimbang untuk konsumsi lokal.
Sebaliknya, pengusaha kopi dan pemilik Kedai Gendon Warung kopi,Mas Yuniarto menyatakan, belakangan keuntungannya dari pasar lokal lebih menjanjikan ketimbang dari nilai ekspor.
Bagaimanapun, upaya memperkenalkan kopi Arabica asal Menoreh terus dilakukan, sehingga masyarakat Aceh pencinta kopi makin mengenalnya.
Harapan agar pengembangan kopi asli Menoreh ini berimbas kepada penghasilan petani tentu patut didukung.
Minggu, 25 Mei 2014
salah satu tempat ngopi enak di jogja
selamat datang di blog kami.
sepeti judul di atas disini saya ingin mengimformasikan kepada teman teman tentang sebuat tempat buat ngopi dan nongkrong yang ebak dan nyaman.
ini nih gan tempatnya,"Gendon warung kopi" terletak di provinsi Jogjakarta kabupaten sleman. tempatnya memang agak jauh dari kota jogja, karena kedai kopi ini terletak di desa yang asri. di daerah perbatasan antara kabupaten sleman dan kabupaten kulon progo, meskipun jauh tapi cukup mudah untuk menemukan lokasi kedai ini, yaitu dari tugu jogja kebarat terus ikuti jalan raya godean, kurang lebih 10 km dari tugu jogja. memang jauh gan tp rasa capek setelah menempuh perjalanan jauh itu akan segera terobati setelah menyeruput espresso menoreh ataupun menu lain yang di sajikan oleh gendon warung kopi.
pernah saya tanya ke pemilik kedai ini, kenapa gak buka di daerah kota mas ?, beliau hanya jawab "makanan-minuman yang enak meskipun jauh pasti dicari pelanggan mas". setelah saya pikir pikir tenyata bener juga, karena saya liat sendiri waktu itu banyak pelanggan yang datang dengan plat no kendaraan luar kota. saya sempat ngobrol sama beberapa pelanggan setia kedai kopi gendon, mereka ada yang datang jauh@ dari wonosobo, ada yang dri magelang, trus yang dari dalam kota ada yang dari daerah condong catur, gila bener jauh jauh cuma pengen nyeruput kopi.
selain menu minuman kopi, kedai ini juga menyediakan menu makan salah satunya lele bakar. lele bakar di kedai ini memang mak nyusss, dan menjadi menu favorit saya ketika berkunjung ke gendon warumg kopi.ada juga wader goreng yang berasal dan di tangkap langsung di sungai progo, memang sih tempat gendon warung kopi ini tidak jauh dari sungai progo, karena hanya 500 meter timur jembatan ngapak (jembatan di atas sungai progo yang menghubungkan kab, sleman dan kab. kulon progo..
nah bagi temen temen semua yang sedang bingung nyari tempat untuk nongkrong bareng pacar atau temen silahkan nyoba mampir di gendon warung kopi. toh gak ada ruginya mampir kesana selain menu@nya enak, harganya juga gak buat kantong ludes, bisa saya katakan dengan kualitas dan rasa yang sama dengan kafe2 yang ada di kota tp anda cukup membayar separo dari harga kafe di kota.
buruan datang aja ke Gendon warung kopi. kalau pas beruntung kalian bisa dapet promo makan dan minum gratis di gendon warung kopi
selamat beraktivitas
Kamis, 27 Februari 2014
flores, papua coffee
Papua
New Guinea is the second largest island in the world. The western half of New Guinea is part of Indonesia. The Indonesian half of the island was formerly called "Irian Jaya". Today, it is known as Papua, and it is divided into two provinces – Papua and West Papua.
There are two main coffee growing areas in Papua. The first is the Baliem Valley, in the central highlands of the Jayawijaya region, surrounding the town of Wamena. The second is the Kamu Valley in the Nabire Region, at the eastern edge of the central highlands, surrounding the town of Moanemani. Both areas lie at altitudes between 1,400 and 2000 meters, creating ideal conditions for Arabica production.
Together, these areas produce about 230 tons of coffee per year. This is set to rise, as new companies are setting up buying and processing operations. One of them is Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica or commonly known in Indonesia as Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica. These companies are assisting farmers to obtain organic and fair trade certification, which will significantly improve incomes. The area is extremely remote, with most coffee growing areas inaccessible by road and nearly untouched by the modern world.
All coffee is shade grown under Calliandra, Erythrina and Albizia trees. Farmers in Papua use a wet hulled process. Chemical fertilizer pesticide and herbicide are unknown in this origin, which makes this coffee both rare and valuable
Flores
Flores (or Flower) Island is 360 miles long, and is located 200 miles to the east of Bali. The terrain of Flores is rugged, with numerous active and inactive volcanoes. Ash from these volcanoes has created especially fertile Andosols, ideal for organic coffee production. Arabica coffee is grown at 1,200 to 1,800 meters on hillsides and plateaus. Most of the production is grown under shade trees and wet processed at farm level. Coffee from Flores is known for sweet chocolate, floral and woody notes.
New Guinea is the second largest island in the world. The western half of New Guinea is part of Indonesia. The Indonesian half of the island was formerly called "Irian Jaya". Today, it is known as Papua, and it is divided into two provinces – Papua and West Papua.
There are two main coffee growing areas in Papua. The first is the Baliem Valley, in the central highlands of the Jayawijaya region, surrounding the town of Wamena. The second is the Kamu Valley in the Nabire Region, at the eastern edge of the central highlands, surrounding the town of Moanemani. Both areas lie at altitudes between 1,400 and 2000 meters, creating ideal conditions for Arabica production.
Together, these areas produce about 230 tons of coffee per year. This is set to rise, as new companies are setting up buying and processing operations. One of them is Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica or commonly known in Indonesia as Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica. These companies are assisting farmers to obtain organic and fair trade certification, which will significantly improve incomes. The area is extremely remote, with most coffee growing areas inaccessible by road and nearly untouched by the modern world.
All coffee is shade grown under Calliandra, Erythrina and Albizia trees. Farmers in Papua use a wet hulled process. Chemical fertilizer pesticide and herbicide are unknown in this origin, which makes this coffee both rare and valuable
Flores
Flores (or Flower) Island is 360 miles long, and is located 200 miles to the east of Bali. The terrain of Flores is rugged, with numerous active and inactive volcanoes. Ash from these volcanoes has created especially fertile Andosols, ideal for organic coffee production. Arabica coffee is grown at 1,200 to 1,800 meters on hillsides and plateaus. Most of the production is grown under shade trees and wet processed at farm level. Coffee from Flores is known for sweet chocolate, floral and woody notes.
Sumbawa coffee
The western slopes of Mount Tambora in Sanggar peninsula is the main coffee-growing area in Sumbawa island, thus the coffee from this area is marketed as Tambora coffee. The intensive coffee plantation were begun in colonial era after the area was cleared up because of the eruption of Tambora volcano in 1815. However archaeological findings discover some coffee seeds in Tambora culture sites suggesting the local Tambora and Pekat kingdoms already cultivating the seeds acquired from Dutch East Indies Company, grow and harvest them and trade with them.
Bali coffee
The highland plateau of Kintamani, between the volcanoes of Batukaru and Agung, is the main coffee growing area. Many coffee farmers on Bali are members of a traditional farming system called Subak Abian, which is based on the Hindu philosophy of "Tri Hita Karana". According to this philosophy, the three causes of happiness are good relations with God, other people and the environment. The Subak Abian system is ideally suited to the production of fair trade and organic coffee production.
Stakeholders in Bali, including the Subak Abian, have created Indonesia's first Geographic Indication (G.I.). Once it is recognized by the government, this G.I. will protect Kintamani coffee from blending or mis-labeling.
Generally, Balinese coffee is carefully processed under tight control, using the wet method. This results in a sweet, soft coffee with good consistency. Typical flavours include lemon and other citrus notes.
Langganan:
Postingan (Atom)